Kegiatan FGD Kajian Analisis Sebaran dan Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kota Pangkalpinang

SHARE

Jumat, 9 Juli 2021, Plt. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Kota Pangkalpinang, M. Belly Jawari, ST, M.Si. dan beberapa staf hadir dalam pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) tentang Kajian Analisis Sebaran dan Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Di Kota Pangkalpinang. Hadir juga dalam FGD ini  Dr. Reniati, SE.M.Si.CHCM.,CIQAR, Ayu Wulandari,SE.M.Si, Suhaidar,SE.,M.Si, sebagai tenaga ahli dari Universitas Bangka Belitung, Dea Desaulia Marlin, S.Tr.Sos, sebagai narasumber dari Dinas Sosial Kota Pangkalpinang, Annizargiyarni,S.ST, sebagai narasumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pangkalpinang. Dalam FGD ini diundang juga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait dan seluruh camat lingkup Pemerintah  Kota Pangkalpinang sebagai peserta.

Dalam sambutannya Plt. Kepala Bappeda berharap melalui kajian ini dapat dijelaskan apa yang menjadi faktor terbesar kemiskinan di Kota Pangkalpinang sehingga pemerintah bisa melakukan intervensi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Dr. Reniati, SE.M.Si.CHCM.,CIQAR, sebagai tenaga ahli dalam paparan pendahuluan ini menjelaskan bahwa faktor/karakteristik terbesar yang mempengaruhi kemiskinan di Kota Pangkalpinang bukan pada variabel ekonomi, tetapi lebih dikarenakan faktor psikis. Untuk mengatasi itu semua masyarakat lebih membutuhkan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat. Lebih lanjut Dr. Reniati menambahkan  bahwa dampak dari pandemi covid 19 membuat meningkatnya angka pengangguran di Pangkalpinang sehingga angka kemiskinan pun meningkat. Secara faktual terdapat karakteristik yang berbeda antara kemiskinan di Pangkalpinang dan di Pulau Jawa. Semiskin-miskinnya masyarakat di Kota Pangkalpinang masih memiliki handphone, motor, listrik, dan rumah tembok berlantai semen dan hal ini tidak terjadi pada masyarakat yang kategori miskin di Pulau Jawa. Oleh karenanya perlu ada kearifan lokal dalam menetapkan kriteria kemiskinan. Dea Desaulia Marlin, S.Tr.Sos, menambahkan bahwa dalam kajian ini menggunakan data kemiskinan yang ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSK).

Menanggapi pertanyaan dari Camat Taman Sari yang mempertanyakan tentang jumlah sampel responden penelitian yang belum proporsional, Dr. Reniati menjelaskan bahwa untuk responden dan karakteristik kemiskinan sudah berdasarkan data dari BPS dan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diupdate dan diakses secara online. Penjelasan ini dibenarkan juga oleh Ayu Wulandari,SE.M.Si, dan Suhaidar,SE.,M.Si, sebagai tenaga ahli lainnya dan sekaligus mengklarifikasi adanya kesalahan ketik dalam penulisan jumlah angka sampel responden untuk Kecamatan Taman Sari. Dr. Reniati menambahkan secara ekonomi masyarakat Pangkalpinang tidak miskin, tetapi secara mental miskin. Dea Desaulia Marlin, S.Tr.Sos, membenarkan bahwa ketergantungan sebagian masyarakat di Pangkalpinang terhadap bantuan sosial sangat tinggi dan yang menjadi permasalahan saat ini adalah bahwa Dinas Sosial tidak bisa menghapus data masyarakat penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Sosial walaupun secara faktual sudah tidak miskin.

Lebih lanjut Annizargiyarni,S.ST, menjelaskan untuk pendapatan dibawah 2 juta rupiah dengan 4 orang dalam 1 KK,  jika orang tersebut tidak menerima bantuan pendapatan lainnya maka tergolong miskin. Dea Desaulia Marlin, S.Tr.Sos, memberikan tambahan penjelasan bahwa untuk permukiman di Pangkalpinang masih kategori layak karena kondisi rumah dinilai masih banyak yang layak huni dan memiliki fasilitas MCK yang layak, lantai rumah minimal semen, dan kebanyakan masyarakat sudah menggunakan listrik PLN. Hal ini menanggapi pertanyaan dari perwakilan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Dalam kesempatan ini Plt. Kepala Bappeda juga mempertanyakan perbedaan data dari Dinas Sosial dan BPS dalam menentukan karakteristik kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di Pangkalpinang. Menanggapi pertanyaan ini Rachmad Syaparudin dari Dinas sosial mengakui perbedaan data tersebut dikarenakan metode penghitungan yang berbeda. DTKS merupakan data yang sudah valid secara online dan digunakan sebagai dasar dalam penyaluran bantuan sosial berdasarkan standar nasional karena penetapan kriteria kemiskinan berdasarkan kearifan lokal di Pangkalpinang belum ada. Lebih lanjut Annizargiyarni,S.ST, pejabat fungsional Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS membenarkan perbedaan metologi dengan Dinas Sosial. Data BPS merupakan data-data makro yang digunakan dalam perencanaan, sedangkan DTKS merupakan data mikro yang digunakan dalam penyaluran bantuan sosial.

Data makro lebih ke pendekatan kebutuhan dasar dan menggunakan garis kemiskinan untuk menentukan miskin dan tidak miskin sedangkan data mikro menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan oleh ciri-ciri rumah tangga miskin supaya lebih cepat dan hemat biaya. Data makro diupdate setiap 2x setahun di bulan Maret dan September dengan mengadakan data survey sosial ekonomi nasional. Data yang bersifat survey ini hanya bisa menunjukkan jumlah penduduk miskin di daerah berdasarkan estimasi survey, sedangkan data mikro dari DTKS lebih seperti sensus orang miskin. Data masyarakat miskin dicatat langsung oleh Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dari Dinas Sosial, dan masyarakat juga bisa mendaftarkan dirinya secara mandiri ke Dinas Sosial jika merasa miskin.

Di akhir FGD Plt. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Kota Pangkalpinang, M. Belly Jawari, ST, M.Si. mengharapkan koordinasi harus berjalan baik antara Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah dan Dinas Sosial. Harapan juga ditujukan kepada Kementerian Sosial agar dalam rapat koordinasi nasional dapat melibatkan bappeda dan OPD terkait agar terjalin komunikasi yang lebih baik. M. Belly Jawari, ST, M.Si. juga meminta untuk FGD mendatang bisa mengundang Sekretaris Daerah sebagai penentu kebijakan dan seluruh kepala OPD agar mengetahui permasalahan kemiskinan di Kota Pangkalpinang.